20 Agustus 2008

Cerpen: Dinda & Saijah (Bukan Karya Multatuli)

Oleh Agus Triyatno

Namanya Saijah. Laki-laki ini baru saja turun dari bis kota di suatu sore. Badannya yang kurus terus berjalan menuju sebuah rumah mewah. Di luar pagar rumah mewah yang dituju kepalanya melongok ke halaman rumah mencari Penjaga rumah. Sang Penjaga yang sedang asyik berdiam di pos langsung menghampiri Saijah. Sejenak Saijah memperkenalkan namanya dan sang Penjaga langsung menyilakan masuk karena memang kedatangannya sudah ditunggu si empunya rumah.

Saijah mengetuk pintu utama dua kali. Keluar seorang perempuan kira-kira berusia dua puluh empat tahun. Mengenakan gamis panjang lengkap dengan kaos kaki dan jilbab panjang warna coklat. Saijah mengucap salam pada perempuan itu yang dikenalnya bernama Dinda sejak dua tahun lalu. Sambil membetulkan letak kacamata, Dinda mempersilakan Saijah masuk ke dalam rumah.

Seorang ibu yang berumur lebih dari separuh abad muncul dari dalam dapur menghampiri. Saijah langsung mencium tangan ibu itu dengan takzim. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Saijah mengikuti langkah sang ibu ke ruang tamu. Saijah duduk berhadapan dengan sang ibu. Dinda baru turut kemudian setelah menghidangkan air putih untuk Saijah.

Karena perkenalan yang sudah lama terjalin, tanpa basa-basi lagi sang ibu menanyakan maksud kedatangan Saijah kali ini. Secara garis besar Saijah bercerita bahwa dirinya beserta keluarga hendak berkunjung menemui Dinda dan keluarga dengan maksud untuk melamar Dinda sebagai isteri Saijah. Belum sempat Saijah berkata lagi sang ibu sudah langsung mengambil alih pembicaraan. Sang ibu bercerita bahwa pada saat ini Dinda belum mau untuk menikah. Hal ini sangat berbeda ketika Saijah dan Dinda berkenalan. Mereka membuat komitmen untuk menikah secepatnya. Bahkan Dinda bercita-cita memiliki anak delapan sekaligus. Menurut sang ibu, dahulu ketika Dinda memutuskan untuk komitmen menikah dengan Saijah karena belum berpikir dengan matang. Tapi sekarang Dinda sudah banyak belajar. Bertemu dengan orang-orang yang lebih tua darinya untuk dimintai nasehat-nasehat bijak. Dan, keputusannya adalah saat ini belum mau menikah. Saijah melirik Dinda yang duduk di sampingnya. Terlihat Dinda menunduk. Separuh wajahnya terhalang jilbab panjangnya.

Saijah sudah pernah mendengar keputusan itu sebelumnya dari Dinda sendiri. Tapi, ada hal lain yang menjadi pertimbangan Saijah untuk meminta menikahi Dinda langsung ke orangtua Dinda. Hal tersebut adalah bahwa hubungan yang selama ini dilakoni antara Dinda dan Saijah sudah terlampau jauh. Mereka berdua sudah pernah melakukan hubungan intim layaknya suami isteri meskipun tanpa penetrasi. Hal itu terjadi berkali-kali. Saijah datang saat itu untuk menjelaskan hal tersebut kepada orangtua Dinda dan ingin bertanggungjawab menikahi Dinda. Namun, ketika Saijah ingin bercerita, langsung saja sang ibu memotong pembicaraan Saijah. Sepertinya sang ibu sudah paham yang akan diceritakan cerita Saijah dan menganggap hal yang dilakukan itu wajar-wajar saja. Sang ibu pun berdalih bahwa dirinya pernah berpacaran dan itu biasa. Terlebih ketika dirinya hidup di Jerman saat sekolah dulu. Sang ibu kemudian mengambil persamaan kasus dengan yang dialami oleh Pastor di gereja-gereja yang dianggap orang suci pun pernah melakukan hubungan sex yang dilarang agama.

Setelah lama berdiam diri, Dinda pun angkat bicara. Dirinya mengaku pernah sakit hati terhadap ibu dari Saijah yang menjelek-jelekan dirinya. Saijah pernah mengakui sendirian apa yang pernah dilakukannya bersama Dinda kepada orangtuanya sendiri. Terjadilah kemarahan bukan hanya kepada Saijah tetapi juga kepada Dinda. Hal itulah yang membuat Dinda sakit hati meski kemarahan itu hanya didengar dari cerita Saijah karena Dinda tak pernah datang lagi berkunjung ke rumah Saijah sejak Saijah mengakui perbuatannya sendirian kepada orangtuanya sendiri.

Selama hampir setengah tahun Saijah mengalami hari-hari yang menegangkan di keluarganya sendiri. Di sisi lain, Dinda terus menuntut untuk segera dinikahi. Bergelutlah batin Saijah. Sebagai laki-laki, dia mau bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Begitulah yang selalu diajarkan orangtuanya. Secara terus menerus dirinya merayu orangtuanya agar mau melamar Dinda dan itu berhasil diwujudkan setelah setengah tahun berlalu.

Berita itu pun dikabarkan kepada Dinda. Sayangnya, kabar itu tidak disambut antusias oleh Dinda. Justru Dinda minta waktu untuk menimbang-nimbang keputusannya untuk menikah dengan Saijah. Padahal selama setengah tahun Saijah mengalami hari-hari yang sulit di keluarganya, Dinda masih memberikan semangat kepada Saijah.

Dinda terus berkata bahwa saat ini dirinya tidak mau menikah dengan Saijah. Bahkan Dinda menyuruh agar Saijah tidak usah lagi berkomunikasi dengannya karena itu sangat mengganggu. Dulu, alasan Dinda masih mau terus berkomitmen menikah dengan Saijah meski orangtua Saijah marah adalah karena Dinda tidak mau kalah dengan orangtua Saijah. Bila saat orangtua Saijah marah dan Dinda berhenti komitmen menikah dengan Saijah maka Dinda kalah karena memang itu yang diharapkan orangtua Saijah. Tapi, sekarang ini orangtua Saijah sudah setuju agar Saijah menikah dengan Dinda. Di saat inilah Dinda memutuskan untuk membatalkan komitmen. Dengan begitu, Dinda merasa menang karena orangtua Saijah pasti mengalami malu dan sakit hati.

Saijah masih memberikan pilihan kalau memang tidak siap untuk menikah saat ini maka dirinya siap menunggu hingga Dinda siap menikah dengannya. Tapi pilihan itu ditolak Dinda. Dinda mau membatalkan komitmen menikah dengan Saijah sekarang dan selamanya.

Sang ibu mendukung keputusan anaknya. Dirinya bahkan menyuruh agar Saijah tidak lagi meneror Dinda dengan telpon atau sms. Biarkan saja Dinda bergaul dengan siapa saja tanpa perlu diatur-atur lagi oleh Saijah. Lebih baik Saijah introspeksi diri dulu. Urus diri sendiri dulu. Gemukkan badan, menyiapkan investasi tabungan, kendaraan dan rumah. Meskipun begitu, sang ibu menyangkal kalau Dinda itu matrelialistis. “Kalau memang jodoh pasti akan kembali lagi,” begitu ucap sang ibu.

Tubuh Saijah yang sudah kurus itu seperti tidak lagi bertulang. Bersandar pada kursi empuk yang didudukinya. Saijah tidak mengerti lagi apa yang harus dilakukannya. Adzan maghrib sudah mengalun pelan di televisi. Saijah minta ijin agar diberi kesempatan shalat maghrib.

Setelah shalat maghrib, Saijah langsung berpamitan pulang. Tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Dinda dan ibunya mengantar hingga ke pintu utama. Membiarkan Saijah berjalan sendiri ke pintu pagar. Hal ini tidak biasa karena biasanya Dinda menemani Saijah hingga ke pintu pagar.

Saijah berpamitan kepada Penjaga rumah. Dilanjutkan dengan berjalan menuju pemberhentian bis kota. Sesaat kemudian Saijah meluncur dengan menumpang bis kota menuju rumahnya yang sederhana.

Keesokan harinya ibu Saijah bertanya tentang hasil pertemuan dengan keluarga Dinda. Saijah menceritakan semuanya. Ibu Saijah hanya berpesan pendek saja.

“Nak, kewajibanmu sudah kau tunaikan. Biarkan kalau keluarga Dinda tidak berkenan. Kalau memang itu sebuah kebaikan maka Allah tidak akan salah mencatatnya. Jika yang kau lakukan sebuah kesalahan maka niscaya ampunan Allah tercurah padamu.”

NB: Kepada Dinda dan Saijah, semoga kisah kalian abadi…