28 Maret 2008

Sepasang Ikan Koki

Cerita anak Agus Triyatno

MINGGU pagi yang cerah, suasana pasar sangat ramai. Banyak sekali orang yang datang, baik yang berjualan maupun para pembeli. Ibu dan Fitri berkeliling mencari barang belanjaan yang diperlukan. Ibu membeli sayuran, bumbu-bumbu, dan beberapa butir telur ayam untuk dimasak di rumah nanti. Keranjang ibu tanpa terasa mulai penuh terisi. Ibu dan Fitri berhenti di depan penjual ikan bandeng. Bandeng adalah ikan kesukaan bapak. Ibu mau membeli ikan bandeng itu. Sedangkan Fitri tampak asyik memperhatikan ikan koki yang dijual pedagang ikan hias. Ikan koki itu menarik perhatiannya. Selain tubuhnya yang gendut berwarna cerah merah dan putih, ekornya yang bersulur dan melambai-lambai membuat Fitri terpesona.

Ibu hendak pergi setelah mendapatkan ikan bandeng untuk bapak. Ia mengira Fitri akan mengikutinya dari belakang. Namun, Fitri belum juga beranjak dari tempat pedagang ikan hias. Lantas ibu menghampiri Fitri dan mengajaknya untuk segera pulang. Fitri menolak. Fitri minta ibu membelikannya sepasang ikan koki untuk dipeliharanya di rumah. Dia tak mau pulang sebelum dibelikan ikan koki itu.

Ibu tak mengabulkan permintaan Fitri. Sambil menarik tangan Fitri, ibu memaksanya untuk segera pulang. Fitri bergeming. Ia tetap tak mau pergi. Fitri malah mulai menangis. Karena kesal, ibu pura-pura meninggalkan Fitri yang menangis sesenggukan. Ibu berharap Fitri akan berbalik mengejarnya. Tapi perkiraan ibu salah. Baru beberapa langkah berjalan, ibu menoleh lagi ke arah Fitri. Ternyata tangis Fitri makin menjadi. Ia meraung-raung sambil duduk di jalanan pasar yang becek dan bau. Pakaian Fitri pun jadi kotor terkena lumpur becek. Akhirnya hati ibu luluh juga.

"Baiklah ibu akan belikan kamu sepasang ikan koki. Tapi, ada syaratnya," kata ibu sambil mengajak Fitri berdiri lalu menyeka air mata anaknya itu. Tangis Fitri pun mereda.

"Apa syaratnya?" tanya Fitri.

"Syaratnya, kamu harus merawatnya dengan baik, memberinya makan, dan tak lupa membersihkan tempatnya secara teratur. Jangan sampai ikan itu mati karena tak terurus. Kamu bersedia?"

"Ya, Fitri bersedia merawatnya," jawab Fitri dengan tegas. Tangis Fitri berhenti. Fitri akhirnya pulang bersama ibu sambil membawa sebuah kantong plastik berisi air dan sepasang ikan koki.

***

DI rumah Fitri tampak gembira sekali. Sepasang ikan koki itu langsung ditaruhnya dalam toples. Lantas segera dibawa ke dalam kamarnya. Sambil berdendang riang ikan koki ditaburi Fitri dengan makanan ikan. Kedua koki pun menyabutnya dengan gesit. Membuka mulutnya di permukaan air dan melahap makanan yang diberi Fitri. Fitri tambah senang. Hampir sepanjang hari Fitri memandangi ikan koki peliharaannya itu. "Wah, lucu sekali gerakanmu, ekormu juga indah!" puji Fitri pada sepasang ikan kokinya.

Tiba-tiba terdengar suara ibu dari ruang tengah: "Fitri, ayo makan dulu! Dari tadi kamu kok mainan ikan koki terus," seru Ibu.

"Eh...iya, Bu. Fitri segera ke sana," sahut Fitri sekenanya.

Fitri pun beranjak ke meja makan di ruang tengah sambil membawa toples ikan kokinya. Toples itu ditaruh di meja makan, tepat di samping piringnya. Selama makan, mata Fitri tetap memandangi ikan koki. Ibu dan bapak hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya itu.

Acara makan pun usai. Lalu terdengar pintu rumah diketuk. Ternyata Fuji yang datang. Fuji adalah teman sebangku Fitri di SD Bunga Matahari. Tanpa buang waktu, Fitri langsung memperlihatkan ikan Koki cantiknya itu kepada Fuji.

"Bagus kan ikan kokiku?" tanya Fitri hendak berbasa-basi.

"Wah, cantik sekali ikanmu," Fuji memandang ikan koki itu dengan takjub. "Tapi melihara ikan koki harus rajin lo!" kata Fuji.

"Ah itu, sih, keciiiil". Aku sudah siapkan semuanya," sergah Fitri sambil memamerkan bungkusan makanan ikan dan toples cadangan. Fuji hanya tersenyum dan mengacungkan jempol kanannya ke wajah Fitri. "Sip, lah!"

***

TAK terasa hari sudah malam. Fuji pun pamit pulang. Fitri mengantarnya ke depan rumah dengan tetap menggendong toples ikan kokinya.

"Jangan lupa memberi makan ikan kokimu ya!"

"Tenang saja, sampai besok!"

Fitri lalu kembali ke dalam rumah. Dia langsung menuju kamarnya bersama ikan kokinya. Toples koki itu ditaruh di meja belajarnya. Dipandanginya terus sampai tak terasa akhirnya Fitri tertidur pulas.

***

SENIN pagi. Sudah hampir jam tujuh. Fitri bangun kesiangan. Padahal dia harus bergegas berangkat ke sekolah untuk upacara bendera. Ibu dan bapak juga kesiangan karena semalam terlalu lama menonton televisi. Setelah mandi dan sarapan pagi, dengan terburu-buru Fitri memberi makan ikan kokinya yang berada di kamarnya.

Sampai di sekolah, Fitri berjumpa dengan Fuji.

"Bagaimana ikan kokimu?"

"Tenang saja, sudah aku kasih makanan. Pokoknya beres deh!" jawab Fitri enteng. Dan dua gadis cilik itu pun bergabung dalam barisan untuk ikut upacara bendera di halaman SD Bunga Matahari.

***

FITRI meraung-raung di kamarnya. Sambil duduk menggelesot di lantai dia menangis sejadi-jadinya. Fuji yang menemaninya sejak pulang sekolah tadi menjadi kebingungan. Fuji hanya bisa mengusap-usap punggung sahabatnya itu. Namun, tangis Fitri makin menjadi. Tak lama, ibu pun segera tiba dari arah dapur.

"Ada apa, Fitri? Kenapa kamu? Fitri kenapa, Fuji?" ibu langsung memberondong pertanyaan.

"Hu hu hu huu...itu Bu, Hu hu hu...!" rengek Fitri sambil menunjuk toples ikan koki kesayangannya.

"Iya, Bu. Ikan kokinya Fitri mati," lanjut Fuji segera. Ibu langsung menghampiri toples ikan koki. Dilihatnya dua ekor ikan itu mengambang di permukaan air. Toples itu penuh sekali dengan makanan ikan.

"Waaaah, ikan ini kebanyakan makanan. Tentunya dia mati kebanyakan makan dan karena air yang kotor oleh makanan yang menumpuk. Lihat saja, permukaan air tertutup oleh makanan ikan. Dia tentu susah juga untuk bernapas," ibu mencoba menjelaskan pada Fitri. Fitri memperhatikan ibunya dengan mata yang basah. Dia menyesal telah memberi makanan berlebihan tadi pagi. Maksud Fitri, tentu supaya ikan itu bisa sekalian makan siang tanpa harus disediakan olehnya. Fitri takut ikan kokinya kelaparan. Namun, kenyataannya malah ikan-ikan itu pada mati.

Fitri menghampiri ibunya. Dia minta maaf tak bisa mengurus ikan kokinya dengan baik. Sambil memeluk anaknya, ibu menjelaskan bahwa suatu kebaikan jika dilakukan secara berlebihan, belum tentu hasilnya akan baik pula.

"Jadi, Ibu enggak marah?" tanya Fitri dengan mata berkaca-kaca.

Sambil menggeleng, ibu tersenyum. Fuji pun tersenyum. Dia terharu melihat Fitri dan ibunya. Lalu mereka bertiga bergegas menguburkan sepasang koki itu di halaman belakang rumah.

Disobek dari Koran Lampung Post Edisi Minggu, 14 Mei 2006

Tidak ada komentar: