28 Maret 2008

Ubet Ingin Jadi Arsitek

Cerita anak Budiyanto Dwi Prasetyo

SORE yang cerah. Matahari jingga sudah berada di sebelah barat. Angin berembus perlahan memasuki jendela kamar Ubet yang sengaja dibuka lebar-lebar. Di dalam kamarnya Ubet sedang asyik menggambar. Ubet paling senang menggambar rumah. Ia sangat ingin seperti ayahnya yang pandai menggambar rumah.

Ayah Ubet adalah seorang arsitek yang kerjanya menggambar rumah. Ayah bisa menggambar rumah dengan berbagai bentuk dan ukuran. Kata ayah, gambar rumah buatannya dipakai sebagai model untuk membangun rumah sungguhan. Rumah Ubet adalah hasil gambar buatan ayah. Ubet bangga sekali memiliki ayah yang pandai menggambar rumah.

"Jika sudah besar nanti, ayah yakin kamu bisa bikin gambar rumah yang lebih bagus lagi," kata ayah suatu ketika. Mendengar itu, Ubet hanya senyum-senyum saja. Ah, mana mungkin aku bisa membuat gambar rumah seperti ayah? Ubet bertanya dalam hati.

"Asalkan kamu mau terus belajar dan tidak pernah menyerah!" lanjut ayah seperti tahu apa yang dipikirkan anaknya itu. Ubet pun menjadi semangat untuk belajar menggambar rumah.

Seperti di sore ini. Ubet masih bergelut dengan kertas gambar, pensil, penghapus, dan pengaris. Gaya Ubet sudah mirip ayah kalau sedang menggambar. Garis sana, garis sini. Coret sana, coret sini. Hapus sana, hapus sini, sampai akhirnya Ubet kelelahan sendiri.

Kertas-kertas berhamburan di lantai kamar. Ubet seringkali gagal menggambar rumah. Dalam satu kali menggambar Ubet bisa menghabiskan delapan sampai sepuluh lembar kertas gambar. Kertas itu memang mudah didapat. Ubet tinggal mengambilnya di ruang kerja ayah di rumah. Ayah memang menyimpan banyak kertas gambar di ruang kerjanya. Biasanya ayah menggambar pada malam hari. Sedangkan pagi hingga menjelang malam ayah berada di kantornya di pusat kota. Jadi Ubet bisa leluasa mengambil kertas tanpa sepengetahuan ayah.

"Wah, selesai juga gambar rumah buatanku, he he he," Ubet menyeringai sendirian sambil matanya tak henti-henti memandangi gambar rumah buatannya itu. Ubet yakin kalau gambarnya kali ini adalah paling bagus dari gambar-gambar yang pernah ia buat sebelumnya.

Gambar-gambar yang sudah jadi, biasanya disimpan Ubet di dalam laci meja belajarnya. Ubet masih malu untuk menunjukkan gambar-gambar itu kepada orang lain. Termasuk pada ayahnya. Dan Ubet langsung teringat Andi, teman sekelasnya, yang selalu menanyakan gambar-gambar buatannya. Ubet memang sering bercerita pada Andi kalau ia senang menggambar rumah seperti ayahnya.

"Besok akan kutunjukkan gambar ini pada Andi, pasti dia keheranan, he he he," kembali Ubet tertawa sendiri.

"Ubet, mandi dulu sana. Sudah hampir malam lo!" teriak ibu dari balik pintu kamarnya. Ubet tersadar sudah terlalu lama memelototi gambar rumah buatannya itu. Setelah membereskan semua peralatan gambar, ia pun bergegas mandi.

***

Esoknya, Andi benar-benar kaget melihat gambar rumah buatan Ubet. Andi benar-benar tak menyangka kalau Ubet bisa menggambar sebagus itu. Rumah yang digambar Ubet adalah rumah mungil dengan halaman yang luas. Atapnya terbuat dari genting dan memiliki cerobong asap tepat di sisi kirinya. Ubet pun memberi warna pada rumah itu. Gentingnya berwarna jingga, temboknya biru, pintunya cokelat, rumput di halamannya hijau, dan pagarnya berwarna kuning. Halaman rumah itu pun diberi gambar bunga-bunga dalam pot yang beraneka warna.

"Ini gambar rumah paling bagus yang pernah aku lihat," kata Andi yang masih terkagum-kagum.

"Ah, kamu jangan mengejek begitu. Aku jadi malu. Sini gambarnya!" sahut Ubet sambil tangannya menyambar kertas dari tangan Andi. Dan kini gambar itu sudah dipegang Ubet.

"Oh iya, kenapa kamu tidak mengirimkannya ke koran? Kan, sedang ada lomba menggambar untuk anak-anak. Hari ini batas akhir pengiriman. Kamu nggak mau mencobanya, Bet?"

Tiba-tiba Andi teringat lomba menggambar di koran yang sering ia baca di rumah.

"Ah, gambar seperti ini mana bisa menang. Lagi pula, tujuanku menggambar kan, hanya untuk belajar saja. Tidak untuk dilombakan."

"Ayolah, Bet. Aku bisa membantumu ke kantor pos untuk mengirimkan gambarmu. Hadiahnya uang seratus ribu, lo?" kata Andi coba meyakinkan sahabatnya itu. Dan akhirnya, dalam perjalanan pulang dari sekolah, mereka sepakat mampir ke kantor pos terdekat untuk mengirimkan gambar rumah buatan Ubet ke kantor redaksi koran.

***

Minggu pagi, Ubet mendapatkan hukuman dari ayah karena telah mengambil kertas gambar tanpa izin. Ayah jadi kehabisan kertas gambar. Padahal, hari itu juga ayah harus membuat gambar rumah untuk segera diserahkan di kantor keesokan harinya. Tetapi, kertas gambarnya habis dipakai Ubet.

Ayah menghukum Ubet dengan menghentikan uang jajan selama seminggu. Hukuman ini sudah sering diterima Ubet sebagai sanksi jika Ubet nakal.

"Maafkan Ubet, ayah. Ubet berjanji tak akan lagi mengambil kertas gambar tanpa izin ayah," kata Ubet sambil menangis sesenggukan.

"Ayah sudah memafkanmu sebelum kamu minta maaf, Bet. Tapi, hukuman harus tetap dijalani. Ini sebuah pelajaran untuk bertanggung jawab, nak. Kamu mengerti?" kata ayah. Ubet mengangguk sambil terus menangis. Ibu yang melihat kejadian ini tak bisa berkata apa-apa. Ibu hanya memeluk Ubet dan mengingatkan ayah untuk terus bersabar.

Saat itu juga ayah hendak bergegas ke toko kertas untuk membeli kertas gambar. Tiba-tiba terdengar suara Andi dari balik pintu rumah Ubet.

"Ubeeet, gambarmu menang!" teriak Andi. Ayah membukakan pintu. Andi langsung masuk sambil membawa koran edisi Minggu dan menghampiri Ubet.

"Ini, gambarmu dimuat koran hari ini. Kamu dapat hadiah seratus ribu, Ubet!" kata Andi berseri-seri sambil menujukkan koran itu kepada Ubet.

Ubet mengucek-ucek kedua matanya yang masih berair, seperti tak percaya kalau gambarnya menang. Senyum Ubet pun mengembang. Ayah dan ibu berebutan melihat koran itu. Ayah terkejut sekali melihat gambar itu. Begitu pula Ibu.

Tiba-tiba Ubet berkata, "Ayah, hadiah lomba ini semuanya Ubet berikan pada ayah untuk mengganti kertas gambar yang Ubet pakai selama ini!" Ayah malah memeluk anak satu-satunya itu. Ia bangga bukan main. Selain berbakat menggambar, Ubet ternyata juga bertanggung jawab akan perbuatannya.

"Tidak nak, hadiah itu milikmu. Pergunakanlah untuk keperluanmu. Termasuk untuk mengganti hukuman uang jajanmu selama seminggu itu," kata ayah masih memeluk Ubet. Dalam hatinya, Ubet berjanji besok ia akan membeli kertas gambar sendiri untuk membuat gambar-gambar rumah buatannya. Ubet sangat ingin menjadi Arsitek, seperti ayahnya.

Penulis cerita anak tinggal di Tangerang

Disobek dari Koran Lampung Post Edisi Minggu, 15 Mei 2005

Tidak ada komentar: