09 April 2008

Cinta Yang Terpendam

Cerpen Agus Triyatno

Hari semakin siang ketika Duta pulang dari kampus. Tampak kelesuan di wajahnya. Perut yang belum diisi sedari pagi tadi meronta-ronta meminta untuk segera diisi. Lebih lagi, sudah satu minggu ini sikapnya terhadap Santi semakin aneh. Dingin dan terkesan menjauh.

“Duta, tunggu!” Santi berteriak.

Duta menoleh. Hampir seratus delapan puluh derajat. Wajahnya yang tampak lesu berubah cerah. Santi berlari dari atas mengejar Duta.

“Kamu marah sama aku?” tanya Santi pelan.
Tak ada jawaban. Duta berbalik arah dan berjalan menuju gerbang kampus. Wajahnya kembali lesu. Santi agak sedikit berlari untuk mensejajari langkah Duta yang kian waktu terasa jauh.

“Hey, Duta! Duta! Jawab pertanyaanku!”

Duta masih saja berjalan. Dia tidak menghiraukan apa yang dibicarakan oleh Santi. Santi menjadi kesal. Dia menarik bahu Duta dan itu berhasil menghentikan langkah Duta.

“Kalau kau mau marah, marahlah sekarang. Aku akan menerima apapun darimu. Tapi, jangan kau buat aku bingung dengan kebisuanmu itu. Aku hanya ingin kejelasan darimu. Sebenarnya apa yang membuatmu berubah sikap terhadapku?” suara Santi mulai meninggi.

“Aku tidak marah dan aku juga tidak akan berbuat apapun terhadapmu. Sekarang biarkan aku jalan sendiri, oke?” jawab Duta datar. Santi tak dapat berbuat apa-apa. Dia hanya memandangi tingkah laku Duta yang menurut dia menjadi aneh. Duta berjalan melewati gerbang kampus. Tak seberapa lama tubuh Duta sudah tidak nampak lagi di hadapan Santi. Sudah terhalangi oleh rombongan mahasiswa yang melintas. Santi kembali ke kampus melanjutkan kuliah yang akan dimulai jam satu siang nanti.

Badan Duta agak sedikit berat ketika sampai di tempat kost. Setelah tadi tampak lesu dan tidak bergairah. Makanan yang dia makan tadi di warung tegal sebelum pulang ke kamar kost memberikan sedikit energi bagi tubuhnya. Kini yang dirasakan justru bertolak belakang. Matanya jadi sayu dan berat sekali untuk melihat dunia. Pikiran yang menyelimuti kian kacau fungsinya. Biasanya pada saat seperti ini yang dilakukan Duta adalah menaruh tasnya di pojok kamar dan melempar tubuhnya ke atas kasur yang sudah menunggu untuk ditiduri.

Sudah setengah jam Duta mencoba untuk menutup matanya dan membawa alam pikirannya ke awang-awang. Bermimpi tentang negeri khayalan. Surga yang penuh dengan makanan dan pelayan-pelayan yang berwajah jelita. Sungguh kenikmatan yang amat sangat ternilai.

Semua kenikmatan itu sirna karena walaupun sudah dicoba berkali-kali untuk memejamkan mata, tetap saja tidak bisa. Terutama pikiran ini. Masih saja mengingat akan kejadian tadi.

“Kenapa tidak aku katakan saja perasaanku tadi pada Santi. Sungguh bodoh diri ini!!” Duta membatin. Tapi, semakin dipikirkan malah semakin berhasrat dirinya untuk mencintai. Duta bingung. Antara perasan dengan keberanian tidak berpadu.
Duta bangkit, beranjak dari tempat tidurnya. Mengambil cangkir dan menyeduh kopi. Ditekan tombol power pada radio dan mulai ditelinganya mendengarkan irama musik klasik kesukaannya.

* * *

Awal pertemuan Duta dengan Santi dimulai dari pembentukan kepanitiaan diskusi terbuka tentang refleksi pemerintahan saat ini. Sejak rapat pembentukan panitia satu bulan kebelakang hari-hari mereka diisi dengan kegiatan bersama.

Mula-mula tidak ada perasaan apa-apa. Semua berjalan mekanis. Perasaan akan persahabatan dirasakannya ketika perjumpaan dengan Santi yang diputuskan menjadi sekretarisnya, sama seperti insan yang lain menjalin nilai-nilai persahabatan. Sekali rapat panitia tidak ada perasaan yang mendalam. Kejadian ini terulang berkali-kali. Sampai-sampai tanpa sadar pergaulan mereka semakin akrab. Intensitas pertemuan semakin tinggi. Banyak permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kepanitiaan diobrolkan bersama. Terkadang hanya berdua saja.

Di kampus, mereka dibatasi oleh tempat dan waktu dalam bertemu. Pintu sekretariat akan ditutup jam lima sore. Tapi, pembicaraan tidak hanya berhenti sampai di kampus. Mereka berdua mempunyai telepon seluler. Mereka dapat berkomunikasi kapan saja mereka suka.
Tanpa harus dibatasi oleh ruang dan waktu.

Hati Duta adalah hati manusia. Hati yang memiliki rasa cinta. Cintanya fitrah manusia. Terbesit dalam pikiran Duta akan hal itu semua. Cinta yang timbul akibat dari begitu akrabnya dengan Santi. Mereka jadi saling memahami, saling mengasihi dan saling membantu walau masih dalam koridor kerja panitia. Entah apakah itu hanya alasan yang dibuat ketika dikonfirmasi oleh kawan-kawan panitia dan teman kuliahnya.

Yang jelas, hal itu dirasakan oleh Duta saat ini. Dirinya tidak bisa meninggalkan isi dunia ini untuk sesaat karena masih memikirkan hal bodoh yang baru saja dilakukan. Tidak punya keberanian. Ya, ia tidak punya keberanian untuk mengungkapkan rasa cintanya itu. Tidak berani tanpa alasan yang jelas yang dapat dipahami semua orang.

“Ini bukanlah kepengecutan! Ini adalah pengecualian!” bela Duta dalam hati. Lagi-lagi hanya berani dalam hati. Apa ini yang namanya keberanian? Sebenarnya Duta tidak berani bukan tanpa sebab. Dia memiliki kenangan yang tidak menyenangkan. Khususnya kepada Santi.
Dalam kepanitiaan ini bukanlah Duta dan Santi berdua saja. Masih ada yang lainnya. Salah satunya adalah Ryan. Ryan juga tidak sendiri. Dia selalu bersama dengan kawan-kawan satu gank. Dia mengaku sebagai kekasih Santi sebelum pembentukan panitia ini. Konon, mereka telah putus hubungan sebagai kekasih. Ketika itu Santi memergoki Ryan yang sedang berdua dengan perempuan di sebuah rumah makan cepat saji di BIP, Bandung. Tampak sangat mesra. Santi tidak menerima itu. Ryan tidak mampu untuk menjelaskan apa yang dia lakukan saat itu. Ia telah mengkhianati cinta Santi. Santi marah. Dan akhirnya mereka putus hubungan.

Dalam kepanitiaan, Ryan menjabat sebagai koordinator bidang logistik. Hal ini sangat jauh hubungannya dengan Santi – sang sekretaris – mantan kekasihnya. Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa Ryan, sampai saat ini, masih mencintai Santi. Nampak jelas terlihat dari rona wajahnya. Saat itu Santi menghampiri Duta untuk meminta tandatangannya. Duta sejajar berbaris dengan Ryan yang saat itu juga sedang membicarakan masalah yang dihadapi panitia bidang logistik. Sorot mata Ryan tidak lepas dari sosok Santi. Diperhatikan tubuh Santi itu dari kepala sampai ujung kaki. Seperti baru kali ini dia menemui perempuan ini.

Duta melayani Santi seperti kebanyakan akan ketua panitia lainnya. Tanpa pilih kasih, diperlakukan semua anggota panitia seperti aturan yang ada. Tapi, anggapan ini tidak berlaku pada Ryan. Ada rasa yang berbeda. Mereka nampak hangat dalam berbicara serta keakrabannya melebihi dari batasan seorang ketua dan sekretarisnya. Hal ini dianggap bahwa keduanya saling suka. Tumbuh dalam hati Ryan rasa cemburu yang didasari oleh cinta yang dulu pernah bersemi di hati. Cinta yang tertambat pada sebuah dermaga. Dermaga cinta yang ada pada hati Santi.

Mulai saat itu, timbul rasa dengki dalam hati Ryan. Dia tidak suka pada Duta. Apapun yang dilakukan Duta selalu salah dalam pandangan Ryan. Kadang memaki, mengumpat, yang itu semua dilakukaknnya di depan kawan-kawan satu gank. Sampai Didi, salah satu dari anggota gank, mengusulkan untuk memberikan Duta ‘pelajaran’.

“Kalau didiemin terus lama-lama hati ini perih, Yan. Mending kita kasih ‘tuh anak pelajaran supaya jangan berani deketin Santi lagi,” ide dari Didi ini tidak langsung ditanggapi langsung oleh Ryan. Padahal, ide ini mendapat dukungan dari anggota gank lainnya.

Sampai pada saatnya tiba. Sore itu, Duta dan Santi tampak sedang jalan bersama menuju gerbang kampus setelah rapat panitia. Mereka terlihat akrab. Tanpa disadari kelakuan mereka berdua diawasi oleh beberapa pasang mata. Mereka adalah Ryan dan kawan-kawannya. Setelah melewati gerbang kampus, Santi berjalan ke arah pangkalan bis Damri, sedangkan Duta berjalan ke arah yang berlawanan.

Mereka berpisah. Ryan dan kawan-kawannya mengikuti Duta sampai lewat kantor pos Hegarmanah Jatinangor. Ryan mendahului langkah Duta. Mencegat laju dari langkah Duta. Duta hanya tersenyum melihat Ryan yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya.

“Ada perlu apa, Yan?”

“Ta, gak usah basa-basi deh lo!” kata Ryan.

“Loh, emangnya ada apa?” tanya Duta heran.

“Jangan coba-coba deketin Santi. Semua orang sudah tahu kalau Ryan pacarnya Santi,” kata Didi.

“Maksudnya apa sih?”

“Jangan belaga bego lo.”

Entah siapa yang memulai. Sebuah kepalan tangan mendarat telak di perut Duta. Masih dalam kebingungan, Duta terus dihajar. Semua kawan-kawan Ryan ikut memukul. Mereka tidak mau ketinggalan mendapat “jatah gratisan” itu. Dalam hitungan menit Duta sudah tidak berdaya melawan mereka semua. Terkapar di atas tanah yang sudah penuh batu kerikil. Ryan dan kawan-kawannya panik dan segera meninggalkan Duta sendiri menikmati rasanya tidak berdaya. Dengan kekuatan yang tersisa, Duta mencoba bangkit untuk melangkah menuju tempat kost.

* * *

Sudah dua hari Duta tidak nampak di kampus setelah peristiwa pemukulan itu. Hal ini menjadi sebuah kepanikan tersendiri bagi panitia. Terutama bagi Santi. Dicari ke kelas Duta tak nampak. Sampai dikunjungi tempat kostnya juga tidak ada. Teman sekelas atau teman kostnya tiada yang tahu dimana Duta berada saat ini.

“Santi, jangan lo umpetin gitu dong ketua kita. Dia milik kita bersama,” ledek Nina, sang bendahara.

“Siapa yang umpetin, enak aja. Kalau ngomong jangan sembarangan ya!” jawab Santi sewot. Sewotnya disambut tawa yang meriah dari kawan panitia yang lain. Mereka tahu kalau ada Duta biasanya ada Santi. Mereka seperti minyak wangi dengan harumnya. Selalu bersama dan tak dapat dipisahkan.

Segera Santi mengirim SMS kepada Duta. Isinya tentang pertanyaan dimana posisinya berada dan apa yang harus dilakukan panitia apabila tidak ada ketuanya. Sudah berkali-kali SMS dikirim, namun tak ada balasan. Ditelpon ada nada sambung tapi tidak juga diangkat. Santi kesal. Sama seperti kawan-kawan panitia lainnya.

TIT! TIT!

Suara tanda sebuah SMS masuk ke HP Santi. Diraihnya HP yang tergeletak di lantai sekretariat panitia. Dilihatnya nomor yang tertera di layar HP adalah nomor HP Duta. Langsung saja ditekan tombol baca. Isi SMS tersebut membuat Santi dan kawan-kawan panitia yang lain mengerti apa yang harus dilakukan. Duta mendelegasikan wewenang ketua kepada Bimo yang menjabat sebagai wakil ketua.

Walaupun begitu, masih ada kebingungan di tengah-tengah panitia. Dimana Duta? Kenapa dia lepas tanggungjawab begitu saja? Tak ada yang bisa menjawabnya. Dibarkan saja pertanyaan itu lengap dibawa semilir angin sore yang dinginnya merasuk tulang rusuk.

* * *

Hari ini genap satu minggu Duta tak nampak di kampus. Kondisi kepanitiaan sudah tidak sepanik pertama kali ditinggalkan Duta. Walaupun sudah ada Bimo yang menggantikan posisi Duta, namun tetap saja Santi selalu melaporkan keadaan yang dihadapi panitia kepada Duta. Tanpa ada perintah untuk itu. Atas inisiatif sendiri Santi selalu bercerita sedetil-detilnya. Hampir tidak ada yang terlewat.

Hari ini satu minggu menjelang pelaksanaan acara. Tepat jam dua siang akan diadakan rapat panitia seperti biasa di sekretariat panitia. Menejelang jam dua sudah banyak berkumpul anggota panitia. Nampak pula di sana Bimo, Santi, juga Ryan. Mereka nampak sibuk masing-masing untuk menyiapkan laporannya.

Jam dua tepat. Rapat baru saja akan dimulai Bimo. Tapi, kondisi yang tenang tiba-tiba menjadi gaduh. Semua mata tertuju ke pintu. Tampak sesosok lelaki yang nampak akrab di mata. Dia adalah Duta, ketua panitia.

Segera Bimo bangkit dari duduknya untuk menghampiri Duta, memintanya untuk memimpin rapat. Duta langsung saja duduk di tempat yang ditinggalkan Bimo.

“Baiklah, rapat hari ini saya buka dengan agenda laporan dari masing-masing bidang,” suara Duta mantap.

Hasil rapat tampak tidak mengecewakan hati Duta. Terdapat kepuasan yang terpancar dari rona wajahnya. Duta berjalan pulang. Santi menghampiri, mencoba untuk berbagi cerita yang dialaminya selama tak bertatap muka dengan Duta.

Awalnya Duta tersenyum dan mencoba menyimak semua kata dan kalimat yang keluar dari mulut Santi. Tapi, sikap itu tiba-tiba berubah. Jarak Duta yang rapat terhadap Santi menjadi renggang akibat langkah yang diambil Duta agak sedikit keluar. Duta tidak mau kejadian yang menimpanya tempo dulu terulang kembali. Dirasakan ada bebearpa pasang mata yang senantiasa memperhatikan gerak-geriknya. Diperhatikan sekeliling tempat tidak ada orang yang memperhatikannya. Tapi, perasaan kalau-kalau dia diperhatikan orang masih bermain di pikiran Duta. Sikap ini membuat Santi menjadi heran. Inilah mulanya Duta menjauh dari Santi.

* * *

“Jajan risoles, A,” kepala Dede, penjual aneka makanan gorengan – menyembul dari celah pintu kamar Duta yang agak terbuka sedikit. Hal itu membuat Duta tersadar dari khayalannya.

“Masuk sini, De.”

Setelah urusan dengan Dede, Duta pun mandi. Hari ini adalah hari Sabtu. Seperti biasa dia selalu punya janji dengan Anto.

Selepas shalat isya Duta berangkat ke gerbang kampus, tempat biasa mereka bertemu. Di depan gerbang terdapat taman yang membagi dua ruas jalan. Di ujung taman itu terdapat tukang bajigur. Sambiil menghangatkan badan dengan minum bajigur di atas taman, Duta menunggu Anto.

Tak lama muncul Anto dari arah seberang jalan raya. Kehadirannya disambut dengan suka cita oleh Duta. Tampak mereka mulai akrab dan membicarakan segala isi dunia.

“To, aku lagi bingung nih,” Duta mulai bercerita. “Setelah peristiwa salah paham antara aku dan Ryan yang membuat tubuhku menderita praktis aku menjauh dari Santi supaya tidak ada prasangka lagi dari Ryan. Tapi, selama aku menjauh justru pikiranku selalu membayangi Santi. Wajahnya selalu ada di hadapanku. Hal ini membuat perasaanku justru bergejolak dan berhasrat untuk mencintai. Namun, dalam keseharian aku harus menjauh supaya tidak ada salah paham lagi yang dapat mencelakakan diriku,” cerita Duta panjang lebar.

“Kalau aku terus begini, kasihan kawan-kawan panitia yang lain karena hubungan yang dingin ini tidak bagus untuk iklim kerja sebuah organisasi,” tambahnya lagi.

“Ya sudah. Untuk saat ini lupakan dulu persoalan kamu dengan Ryan. Semua jalani seperti tidak pernah terjadi apa-apa sampai acara yang dibuat panitia selesai. Setelah itu, ungkapkanlah perasaanmu terhadap Santi kalau kau sungguh-sungguh untuk mencintai. Tapi, jangan seperti Ryan yang senang mengkhianati,” jelas Anto.

Duta meneguk bajigurnya yang sudah mulai dingin. Sudah tidak berguna lagi untuk menghangatkan tubuh.

“Tapi aku tidak berani mengatakannya, To.”

“Keberanian itu dibutuhkan hanya saat memulai. Kau butuh waktu untuk menjalaninya.”
Mereka merasa obrolan mereka semakin hangat. Tanpa terasa malam ingin berpamitan. Sudah mulai memasuki pagi dini hari rupanya. Tukang bajigur yang sedari tadi diam menunggu untuk mengambil gelas yang dipakai oleh Duta sampai tertidur di kursi panjang berselimutkan sarung hitam yang sudah tambal sulam.

Duta berpisah dengan Anto. Kemudian membangunkan tukang bajigur untuk mengembalikan gelas dan membayar jajanan yang dimakannya.

“Maaf pak. Habis tadi teman saya ngajak ngobrol panjang lebar sampai lupa waktu,” jelas Duta kemudian pergi meninggalkan tukang bajigur itu seorang diri.

Tukang bajigur itu tampak melongo. Tidak mengerti apa yang diucapkan Duta barusan. Sudah beberapa kali tukang bajigur itu mendapatkan Duta duduk sendiri di taman gerbang kampus tanpa ada yang menemani. Tapi, Duta selalu bilang bahwa ada teman yang mengajak ngobrol hingga larut, seperti malam ini. Mungkin ini yang disebut dalam ilmu psikologi dengan schizophrenia.

Hari ini adalah hari pelaksanaan acara. Semua persiapan dan kelengkapan acara. Semua persiapan dankelengkapan acara sudah selesai. Semua panitia telah siap sedia di bagiannya masing-masing. Tiba-tiba terdengar HP Firman berdering. Firman adalah anggota panitia yang bertugas menghubungi pengisi acara.

“Halo,” Firman menjauh dari kawan-kawan panitia untuk mencari signal yang lebih bagus.
Setelah selesai menerima telepon, Firman kembali. Nampak kelesuan di wajahnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak panitia.

“Ada apa, Man?” suara Duta datar.

“Gimana, nih, Ta? Ternyata pengisi acaranya tiba-tiba sakit. Jadi beliau tidak bisa datang,” jawab Firman panik.

“Oh gitu. Ada pengisi acara alternatif?”

“Susah, Ta. Mana ada orang langsung diminta jadi pengisi acara mendadak begini.”

“Ya sudah. Tolong kumpulin semua panitia di sekretaria ya.”

Dua jam lagi acara akan dimulai. Tapi pengisi acara mendadak sakit yang mengakibatkan tidak bisa hadir dalam acara. Padahal semua persiapan sudah lengkap tinggal menunggu aksi saja.
Semua panitia sudah berkumpul memenuhi sekretariat. Mereka nampak bingung kenapa mereka harus berkumpul mendadak. Kemudian Duta berbicara untuk menjelaskan mengumpulkan panita secara tiba-tiba.

”Begitu ceritanya. Jadi apa yang harus kita perbuat sekarang?”
Anggota panitia saling berpandangan.

“Ya harus bagaimana lagi. Orang pengisi acaranya tidak ada mau diisi sama siapa,” suara Santi lemas.

“Karena publikasi acara kita sudah tersebar luas, maka acara kita lanjutkan saja dengan agenda memberitahukan kepada pengunjung bahwa acara kita tunda sampai waktu yang tidak ditentukan. Bagaimana?” tawar Duta kepada seluruh panitia yang hadir.

“Saya setuju dengan pendapat Duta,” suara Santi kini terdengar lebih mantap dari yang pertama.

Akhirnya, panitia sepakat untuk melanjutkan acara dengan agenda untuk memberitahukan kepada pengunjung bahwa acara diskusi terbuka tentang refleksi pemerintahan saat ini ditunda sampa waktu yang tidak ditentukan.

Tampak kekecewaan di muka peserta diskusi. Harus bagaimana lagi? Pengisi acara sakit. Dan sakit itu bukan wewenang panitia. Itu soal lain. Tuhan lebih kuasa dari manusia. Begitu kata orang-orang yang masih percaya adanya Tuhan.

Hal yang sama nampak di wajah sebagian para panitia. Mereka semua menganggap pekerjaan yang selama ini dilakukan telah gagal.

“Tidak. Panitia tidak gagal. Tugas kita hanyalah menyiapkan acara ini sebagus-bagusnya. Bahkan bisa dikatakan berhasil bila dilihat pengunjung yang datang hingga tidak muat ditampung aula kampus. Yang membuat acara ini ditunda datangnya bukan dari panitia, melainkan dari pengisi acara. Persiapan telah kita lakukan sudah cukup, bahkan lebih dari cukup,” jelas Duta di acara evaluasi kegiatan.

Terlihat kesegaran kembali di tubuh panitia setrelah mendapatkan saat untuk mencurahkan semua perasaan yang menggumpal dalam jiwa. Mereka kembali ceria dan siap untuk membuat acara yang tertunda ini menjadi nyata.

Masing-masing bubar dengan kepuasan. Tak ada lagi perasaan bersalah. Hingga terlihat di ruang sekretariat hanya ada Santi dan Duta yang sedang merapikan berkas-berkas acara.

“Duta, aku duluan ya. Terima kasih motivasi yang tadi kamu berikan. Sungguh perlu memang untuk kawan-kawan panitia,” Santi pamit dan keluar menuju gerbang kampus.
Saat itu muncul Anto di sekretariat.

“Gimana, Ta? Sukses kan?” tanya Anto.

“Syukur deh. Semua lancar walaupun acaranya ditunda, entah sampai kapan? Aku juga tidak tahu,” jawab Duta pelan.

“Sekarang giliran kau ungkapkan perasaanmu pada Santi. Mumpung si Santi lagi pulang sendiri.”
Duta tampak ragu dengan usul Anto barusan. Timbul rasa takut untuk mengungkapkan perasaannya pada Santi.

“Kenapa? Takut? Sekarang saat yang tepat untuk beritndak. Kalau kau takut terus maka kau akan selamanya mengidap masalah ini dan tak akan pernah selesai. Ungkapkanlah! Ayo!” Anto memberi semangat.

Duta seakan mengerti penjelasan Anto. Langsung saja Duta mengejar Santi untuk mengungkapkan perasaannya.

“Santi tungguuuuu!!”

Santi yang sedang berjalan ke gerbang kampus heran melihat tingkah laku Duta yang penuh semangat. Dengan nafas yang terengah-engah Duta mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.

“Anu.. San. Aku mau ngomong sesuatu,” suara Duta terdengar gugup. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Terlihat Antor yang berdiri tidak jauh dari Duta memberikan motivasi.

“Aku tak sanggup, To.”

“Sudah katakan saja dan semua akan selesai seperti air laut yang menyapu tulisan yang ada di pasir pantai. Bersih dan hati akan tenang. Bukankah itu yang kau inginkan?”

“Duta, kamu tidak apa-apa? Barusan kamu ngomong sama siapa?” tanya Santi heran. Di lokasi hanya ada Duta dan Santi.

“Oh, aku baik-baik saja. Barusan aku ngobrol sama Anto.”

“Anto?”

“Ah, sudahlah. Sebenarnya aku mau ngomong kalau ... ehm,...”

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan mereka. Jendela mobil turun secara otomatis. Terdengar suara ajakan kepada Santi untuk ikut dalam mobil tersebut. Suara yang begitu akrab di telinga masing-masing.

“Sebentar, Yan. Duta mau ngomong dulu,” kata Santi kepada orang yang berada di dalam mobil.

“Sekarang cepat katakan ada apa, Ta?”

“Ng...anu. Aku mau ngomong terima kasih atas semua kerjasama yang telah dijalin selama ini.

Semoga di lain waktu kita bisa bekerjasama lagi,” suara Duta datar lengkap dengan senyum yang khas.

“Ya, sama-sama, Ta. Aku juga terima kasih atas kerjasama dan juga ilmu yang telah kau berikan di kepanitiaan. Bagaimana menjadi orang yang dipimpin dan memimpin. Sungguh susah memang untuk saling memahami orang lain. Dan itu aku dapatkan di kepanitiaan kemarin. Sekali lagi, terima kasih.”

Santi mulai membuka pintu mobil yang sedari tadi parkir di hadapan. Wajah Duta tampak bias ketika melepas kepergian Santi dengan Ryan. Walaupun sebenarnya ada gejolak hasrat dalam perasaan untuk mengatakan cinta. Tapi, kali ini cinta itu hanya dipendam dalam-dalam. Dibiarkan menjadi cinta yang terpendam.

Ditulis di Jatinangor, saat masih menjadi mahasiswa Antropologi Fisip Unpad

Tidak ada komentar: