09 April 2008

Scripta Manent Verba Volant

Cerpen Agus Triyatno

Suatu hari saya pergi Yogyakarta. Naik bis dari Bandung malam hari. Di sebelah saya sudah duduk seorang laki-laki. Umurnya tidak jauh dengan umur saya. Hanya terlihat lebih tua sedikit.

Malam semakin larut. Bis sudah jauh meninggalkan kota Bandung. Jarum jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Saya belum juga terlelap. Sama dengan orang yang duduk di sebelah saya. Sedangkan penumpang yang lain yang mungkin sudah dibuai mimpi.

Untuk membuang kebosanan karena tidak bisa tidur, saya perhatikan orang yang duduk di sebelah saya. Dia selalu melihat ke jendela. Sekali-kali menulis dalam buku kecil yang dia selipkan di saku jaketnya. Kemudian, memandang keluar jendela lagi. Begitu terus. Saya jadi penasaran atas apa yang dia lakukan. Saya pun bertanya kepadanya.

“Belum tidur, Mas?” Tanya saya membuka percakapan.

“Belum mengantuk,” jawabnya singkat.

Saya paham kalau orang memang belum mengantuk akan susah tidur. Tapi, yang saya ingin tahu kenapa sudah dini hari belum juga tidur seperti kebanyakan penumpang lainnya. Apakah dia seorang penjaga malam?

“Tapi, sekarang sudah jam 2 dini hari, Mas.”

“Saya tahu,” katanya lagi, “kamu sendiri kenapa belum tidur?” dia bertanya pada saya.

“Eh, anu, Mas. Saya tidak biasa tidur di dalam bis. Kepala saya suka pusing.”

Saya salah tingkah ditanya balik olehnya. Kemudian kami terdiam. Tiba-tiba….

“Saya tidak tidur karena ingin mencatatkan perjalanan saya.”

“Untuk apa?” tanya saya.

“Supaya kisahnya dapat abadi,” katanya.

“Maksudnya?” saya tak mengerti.

“Biasanya yang tak tertulis itu akan hilang seiring waktu. Seperti percakapan kita ini. Dalam beberapa waktu ke depan akan hilang dari ingatan kita. Berbeda kalau pembicaraan kita ini dituliskan. Tentu akan tahan sampai anak cucu kita nanti.”

“Seperti penulis saja.”

“Memang saya ingin menjadi penulis.”

“Kenapa jadi penulis? Kata berita, hidup penulis di negeri ini belum bisa terjamin secara materi kekayaan. Bahkan bisa dipenjara dan diasingkan oleh penguasa seperti penulis Pramoedya Ananta Toer,” kata saya lagi.

“Memang secara materi kekayaan tidak menjamin hdiup. Tapi, kepuasan batin dengan mengungkapkanisi hati dan pikiran yang menjadi tujuan saya menulis. Pun saya tidak ingin hidup saya berlalu begitu saja seperti angin. Scripta manent verba volant.”

“Apa pula itu scripta manent verba volant?”

“Itu artinya kira-kira: yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin. Itu menjadi motto hidup saya.”

“Oo…”mulut saya membulat. Semakin lama semakin lebar. Menguap. Tanpa terasa mata mulai terpejam. Sekali-kali mengintip melihat jam di tangan. Pukul 03.00 WIB. Melirik ke arah orang yang duduk di sebelah saya. Masih saja memandangi jendela. Tidak tidur.

Bis sudah sampai terminal di Yogyakarta ketika adzan subuh berkumandang. Saya terbangun dan mendapati orang di sebelah saya sudah tidak ada di tempatnya. Saya turun dari bis dan mencari mushala untuk shalat subuh. Selesai shalat subuh, sambil menunggu matahari terbit, saya membaca buku. Baru halaman pertama saya sudah terkejut membacanya. Di sana tertulis scripta manent verba volant. Persis yang diucapkan orang yang tadi duduk di sebelah saya waktu di dalam bis. Apakah orang itu penulis buku yang sedang saya baca ini? Kalau benar, bisa jadi orang itu adalah Muhidn M. Dahlan, penulis novel Kabar Buruk Dari Langit.

Ditulis di Jatinangor saat masih mendampingi Kelas Menulis di Forum Jurnalistik SMPN 1 Jatinangor

Tidak ada komentar: