14 April 2008

Hubungan Orangtua – Anak

Kita sudah sering mendengar tentang kisah-kisah anak yang durhaka kepada orangtua. Salah satu yang terkenal adalah cerita rakyat dari tanah Minang, yaitu Malin Kundang. Kisahnya adalah Malin yang anak orang miskin pergi merantau. Di tanah rantau itu dirinya menjadi orang kaya dan mengawini perempuan cantik dan kaya raya. Suatu saat Malin dan isterinya berserta anak buahnya singgah di suatu daerah yang ternyata itu adalah daerah asalnya Malin dahulu sebelum merantau. Orang-orang kampung segera datang menghampiri rombongan tersebut, termasuk ibu kandung Malin. Tak dapat ditahan rasa rindu sang ibu ketika bertemu anaknya yang sudah kaya itu. Ingin dipeluknya erat-erat. Tapi, Malin menolak. Bahkan dia tidak mengakui bahwa perempuan miskin itu adalah ibu kandungnya. Malin berkoar-koar bahwa dirinya adalah anak orang kaya. Itu dilakukan supaya dirinya tidak malu kepada isteri dan anak buahnya. Akhirnya Malin memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut. Ibunya murka. Dirinya segera mengucap kutukan agar si Malin menjadi batu karena durhaka kepada orangtua. Jadilah bencana itu. Perahu yang ditumpangi Malin dihantam badai. Malin pun terhempas ke pinggir pantai dan menjadi sebuah batu. Konon batu itu ada. Seperti karang yang berbentuk manusia yang berlutut memohon ampun.

Kisah dalam agama Islam yang dianut sebagian besar penduduk di Indonesia ini juga banyak mengisahkan tentang balasan anak yang durhaka kepada orangtua. Salah satu yang saya ingat adalah tentang seseorang yang sedang bertarung dengan malaikat pencabut nyawa. Saat seperti itu nyawanya tidak juga kunjung lepas dari raga sehingga Rasulullah SAW turun tangan. Dapat disimpulkan bahwa masih ada satu perkara yang belum selesai dengan ibunya. Akhirnya sang ibu dipanggil dan dibujuk agar mau memaafkan segala kesalahan sang anak. Sang ibu tidak mau memaafkan. Rasulullah SAW pun marah. Diperintahkan para sahabat untuk menyiapkan kayu bakar untuk membakar sang anak agar lebih mudah meninggal dunia. Hati sang ibu pun luluh. Dirinya tidak tega melihat anaknya disiksa. Apalagi yang menyuruh itu adalah Rasulullah SAW. Setelah ibu mau memaafkan anaknya barulah dengan mudah nyawa itu lepas dari raganya.

Ajaran dalam agama dan juga nilai budaya yang ada di tempat kita hidup sekarang ini memang sangat menjujung tinggi kedudukan orangtua. Anak tidak diperbolehkan untuk membantah segala perintah orangtua bila tidak ingin dikatakan sebagai anak durhaka. Dan, tahukah apa balasan bagi anak yang durhaka? Ya, seperti cerita yang telah saya paparkan di atas sana. Itu baru balasan di dunia. Belum lagi balasan di “hari pembalasan.” Bisa lebih menyedihkan dari yang saya paparkan sebelumnya.

Cerita-cerita itu begitu membekas pada saya hingga saat ini. Betapa tingginya kedudukan orangtua dan begitu rendahnya kedudukan seorang anak. Orangtua memiliki hak veto bagi segala urusan di keluarga, termasuk urusan anak. Sedangkan anak dikatakan sebagai orang yang belum mengerti apa-apa. Orangtualah yang tahu segalanya. Mereka hidup lebih dulu dari pada sang anak. Oleh karena itu, anak harus turut apa kata orangtua.

Dari penjelasan ini nampak bahwa yang dipakai disini adalah dari sudut pandang orangtua. Oleh karena nilai-nilai tersebut sangat menjunjung kedudukan orangtua maka orangtua sebagai pelakon yang menurunkan nilai-nilai terus-menerus menanamkan nilai yang menjunjung kedudukan orangtua tersebut. Prasangka ini sama seperti yang digunakan oleh sebagian pejuang emansipasi perempuan. Perempuan saat ini masih berada di bawah kedudukan lelaki karena nilai-nilai yang menjunjung lelaki lebih tinggi dari perempuan dilestarikan oleh lelaki. Oleh karena itu, pejuang emansipasi perempuan yang meyakini penjelasan seperti tadi menggunakan segenap kekuatan yang dimiliki untuk melawan lelaki secara total, baik fisik, politik, sosial, budaya, semuanya.

Saya pun sempat berpikir dalam beberapa waktu terakhir. Bagaimana anak memandang hubungan antara anak dan orangtua? Apakah anak sukarela menerima kondisi yang demikian? Apakah tidak memberontak terhadap kondisi yang ada? Atau, berperan ganda. Di satu sisi baik kala berada dalam pantauan orangtua dan berontak kala berada di belakangnya?

Pergilah saya ke sebuah kota yang sudah menjadi bagian dari sejarah hidup saya, Jatinangor dan Bandung. Saat itu seorang kawan fakultas psikologi Unpad mengundang saya untuk singgah sejenak. Berbicara di hadapan kawan-kawan mahasiswa dari segenap kampus yang ada di Bandung. Seperti dulu, saya dinobatkan sebagai moderator. Saat itu acaranya tentang psikologi Islam yang membedah tentang generasi muda. Saya tidak ingat persis judul dari acara tersebut. Tapi setidaknya seperti itulah tema besarnya. Masih terpajang kenang-kenangannya di ruang tamu di rumah orangtua saya.

Saat bagian tanya-jawab, itulah yang paling ditunggu-tunggu. Selain mendapatkan hadiah buku yang telah disediakan oleh pembicara bagi orang yang bertanya, pun sebagai peserta itulah saatnya berkomentar untuk lebih memahami tentang materi yang dibicarakan. Boleh setuju dan boleh tidak setuju. Asalkan semuanya ada dasar pemikiran.

Saya mengingat dengan jelas seorang peserta diskusi itu. Dari dua sesi diskusi dirinya senantiasa untuk memotong pembicaraan untuk berpendapat. Inti dari pendapat itu adalah bahwa adanya anak sekarang ini dengan segala kondisinya bukanlah semata-mata karena anak itu sendiri melainkan juga ada campur tangan dari orangtua. Pada saat itu memang banyak membahas tentang perilaku anak yang menyimpang. Peserta yang masih muda itu merasa bahwa semua kesalahan dari perilaku menyimpang yang dilakukan anak ditimpakan seluruhnya kepada sang anak. Sedangkan orangtua berada di sisi luar anak sehingga tidak bersalah. Padahal, peran orangtua tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sang anak. Bagaimana halnya bila sang anak itu tidak berperilaku menyimpang? Menjadi orang yang berhasil dalam segala bidang. Menjadi orang pintar, kaya, ganteng atau cantik, dan taat beragama. Orangtua pun akan menepuk dada bangga dan berkata, “Itu anak saya. Sayalah yang mendidiknya sehingga dia menjadi orang sukses sekarang ini.”

Pada saat ini saya memandang bahwa anak senantiasa menjadi objek dari keadaan. Mereka tidak berhak untuk menentukan hal bahkan itu untuk dirinya sendiri. Semua ditentukan oleh orangtua. Tapi piciknya adalah ketika anak melakukan perilaku yang bertentangan dengan nilai yang ada maka orangtua tidak dikatakan berperan sedangkan ketika anak sukses bahkan karena usahanya sendiri tanpa dibantu orangtua, maka orangtua terkadang mengaku-aku bahwa kesuksesan sang anak karena jerih payah orangtua.

Ini sungguh tidak adil. Kalau mau, pisahkan tanggungjawab anak dengan orangtua. Apa yang dilakukan anak merupakan tanggungjawab anak seorang, begitupun bila anak sukses maka harus diakui bahwa itu merupakan karena usaha anak. Dari sini maka anak pun dituntut untuk bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya.

Bagi saya orangtua harus mengakui semuanya. Baik atau tidak baik penilaian masyarakat pada anak maka orangtua tetap mengakui bahwa disana terdapat peran orangtua. Di sini anak pun tetap diajar untuk bertanggungjawab atas tindakannya sendiri. Anak diikat sebagai anggota keluarga, menjadi bagian dari keluarga. Dengan begitu, dipahami bahwa apabila salah satu anggota keluarga melakukan tindakan yang menyimpang dari nilai yang berlaku maka bukan saja dirinya yang terkena imbasnya melainkan juga seluruh anggota keluarga. Tidak memandang siapa yang melakukan perilaku menyimpang itu adalah anak, orangtua, atau kerabat-saudara.

Pandangan ini nampak lebih berimbang dibandingkan dengan pandangan di awal-awal tulisan ini. Saya lebih cenderung untuk berpendapat bahwa hubungan orangtua-anak itu dilihat secara keseluruhan yang saling terkait yang bernama keluarga. Orangtua boleh dijunjung ketika dia menyayangi dan menghargai anak sebagai manusia sama seperti diri orangtua itu. Anak pun tidak direndahkan ketika dia menghormati dan menghargai orangtua. Semua ada perannya dan masing-masing orang bertanggungjawab terhadap peran yang dilakoninya.

Tangerang, 11 April 2008

Tidak ada komentar: