19 Agustus 2008

Tubuh Kami Diri Kami

Oleh Agus Triyatno

Di Koran Tempo yang terbit tanggal 10 Agustus 2008 terdapat sebuah artikel tentang tubuh yang menjadi komoditas. Banyak orang terkejut ketika mengetahui bahwa sekarang ini seperlima genome (blue-print, kode genetik makhluk hidup) manusia telah dipatenkan, sebagian besar oleh perusahaan-perusahaan swasta. Tapi mengapa kaget?

Tubuh wanita telah digunakan untuk menjual segala macam komoditas, mulai dari mobil sampai musik pop. Sementara pria juga dijadikan obyek kepemilikan dan perdagangan sebagai budak. Para wanita pada umumnya lebih banyak diperlakukan sebagai komoditas di negara-negara yang tidak mengenal perbudakan. Sekali seorang wanita telah mengikat “kontrak” perkawinan, artinya ia tak berhak lagi menolak hubungan seksual – selamanya.

Pada tahun 1960-an, kaum feminis menciptakan slogan “Tubuh Kami, Diri Kami.” Hal ini mungkin akibat dari kekecewaan terhadap ideal sosial yang berarti kita telah berpaling ke dalam diri kita sendiri. Tanpa kepercayaan akan kehidupan yang abadi, semuanya tercurah ke dalam kehidupan yang ada sekarang, dalam tubuh yang ada sekarang.

Tubuh sepertinya bukan lagi menjadi sesuatu yang sakral sekarang ini. Tubuh menjadi milik pribadi individu yang memiliki hak penuh untuk menggunakannya. Apakah tubuh itu mau dioperasi plastik, dicangkok, atau bahkan sebagian organnya dijual hanya untuk mendapatkan uang. Tak ada yang melarang untuk itu.

Pemikiran di atas nampak berbeda ketika saya membaca kisah seorang perempuan. Dia pun mengaku telah merasakan kenikmatan berhubungan badan tanpa ikatan pernikahan. Pada awalnya dia menuntut pasangannya untuk menikahi dirinya. Pasangannya pun menyanggupi. Tapi setelah ada kepastian dari pasangannya untuk menikahi perempuan ini, justru penolakan menikah datang dari sang perempuan. Menurut sang perempuan, pasangannya begitu kuat mengajak menikah karena bentuk tanggungjawab atas apa yang pernah dilakukannya. Tapi tetap saja sang perempuan menolak. Bagi sang perempuan, dia sudah ikhlas menerima kenyataan bahwa dirinya sudah dijamah oleh pria yang bukan suaminya & saat ini ingin bertobat.

Alasan penolakan sang perempuan adalah menikah baginya sebagai urusan ibadah kepada Allah SWT. Bukan hanya sekedar sex semata. Alasan lainnya adalah sang perempuan tidak memungkiri bahwa dirinya telah sakit hati dengan orangtua dari pasangannya. Setelah membaca kisah sang perempuan ini saya pun mencoba membuat kesimpulan. Terdapat sikap yang bertentangan dari sang perempuan. Ajakan menikah dari pasangannya karena ingin bertanggunjawab atas perbuatannya dianggap sebagai motif nafsu syahwat semata. Sedangkan yang diinginkan adalah menikah sebagai ibadah kepada Allah SWT. Tapi di sisi lain, sang perempuan memendam kebencian kepada orangtua pasangannya sehingga menolak menikah. Jadi, penolakan menikahnya bukan murni karena ingin beribadah kepada Allah SWT, melainkan karena kebencian kepada orangtua pasangannya. Suatu sikap yang bertolak belakang (paradoks).

Bagi pasangannya yang juga memiliki & berkuasa atas tubuhnya itu memiliki pandangan berbeda. Tubuhnya merasa sudah dijamah sang perempuan dan sikapnya adalah bersama sang perempuan bertanggungjawab. Tapi, sang perempuan tidak mempedulikan itu. Sang perempuan tidak bertanggungjawab atas tubuh lain diluar tubuhnya sendiri. Yang dipikirkan sang perempuan hanya tubuhnya sendiri. Apa yang terbaik bagi tubuhnya dan tidak ada urusan terhadap tubuh orang lain.

Apapun itu, saya telah mengetahui bahwa tubuh bisa saja menjadi komoditas / modal ekonomi yang dimiliki seseorang. Tapi, tubuh juga bisa menjadi bukan milik dirinya sendiri melainkan milik Allah SWT sehingga apapun yang telah terjadi pada tubuh ini sikap ikhlas dan pasrah dijalaninya. Namun, ada kesamaannya, yaitu semua yang dilakukan itu berdasarkan atas mementingkan diri / tubuhnya sendiri meskipun sikap yang diambil bertolak belakang. “Tubuh Kami, Diri Kami” nampak relevan.

Ini rahasia. Sssttt...jangan bilang siapa-siapa ya! WOW!!

Tidak ada komentar: