23 April 2008

Pengamen dan Pedagang di Bis

Oleh Agus Triyatno

Percakapan antara saya dengan seorang kawan pernah berlangsung beberapa tahun yang lalu. Saat itu kami sedang berplesir ke sebuah kota. Di dalam bis antar kota kelas ekonomi itu banyak sekali pengamen dan pedagang yang silih berganti beraksi. Mereka semua berharap mendapatkan uang.

Di lain waktu saya berplesir lagi. Kali ini sendirian saja. Menumpang bis kelas eksekutif. Di sini nampak berbeda. Tak ada pengamen dan pedagang. Ada televisi yang menyala. Melantunkan tembang kenangan. Saya pun terbuai hingga tertidur pulas. Hingga pada akhirnya saya harus membayar ongkos lebih mahal dibandingkan dengan bis kelas ekonomi.

Beberapa hari belakangan ini saya mengubah arah untuk pulang. Dari Jakarta menuju Tangerang. Tapi tetap menggunakan bis kelas ekonomi. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan keuangan saya. Setiap kali saya naik bis itu saya selalu menjumpai pengamen dan pedagang. Bahkan ada yang terang-terangan meminta uang tanpa harus bersusah payah untuk mengamen atau berdagang. Baik pagi hari maupun malam. Tidak semua penumpang memberi uang kepada orang tersebut. Yang memberi mungkin karena ketakutan karena diancam akan dianiaya.

Dari berbagai kejadian yang saya ceritakan ada beberapa hal yang saling terhubung. Satu pertanyaan yang membuat saya sempat berpikir, kenapa pengamen dan pedagang mencari uang justru di bis kelas ekonomi yang pada dasarnya penumpang kelas ekonomi itu terbatas keuangannya? Di lain pihak, bis kelas eksekutif dengan penumpang yang memiliki uang lebih banyak dari penumpang bis kelas ekonomi, tidak mau menerima pengamen dan pedagang itu. Bahkan mereka berani membayar ongkos lebih mahal dari bis kelas ekonomi supaya tidak ada pengamen dan pedangannya.

Sepertinya pengamen dan pedagang itu seperti pengganggu kenyamanan penumpang sehingga penumpang bis kelas eksekutif berani membayar mahal ongkosnya. Saya pun sebagai penumpang kelas ekonomi terkadang juga merasa terganggu dengan adanya pengamen dan pedagang. Tapi, bila hal itu dihilangkan terkadang juga saya merasa merindukan kehadiran mereka. Ketika dalam perjalanan menumpang bis kelas eksekutif yang melarang pedagang naik maka saya kebingungan ketika saya haus dan ingin membeli minuman.

Kalau memang pengamen dan pedagang itu mengganggu penumpang bis – baik kelas ekonomi maupun eksekutif – maka perlu dicari bagaimana caranya supaya tidak mengganggu. Apakah dengan mengalokasikan secara khusus atau mungkin dibubarkan saja.

Saya berpendapat bahwa untuk membahas masalah ini perlu dikaji dari akarnya. Misalkan saja mulai dari pertanyaan kenapa pengamen dan pedagang itu ada? Tujuan mereka melakukan itu adalah untuk mendapatkan uang. Bila itu tujuannya maka perlu diberi sarana agar para pengamen dan pedagang itu tidak beraksi di bis. Selain mengganggu, hal itu juga dapat membahayakan keselamatan mereka masing-masing.

Para orang kaya juga lebih baik menyisihkan uangnya untuk pembinaan pengamen dan pedagang ini. Tentu saja hal ini dikelola dengan penuh tanggungjawab. Jangan sampai terjadi korupsi. Dari pada harus membayar mahal kepada pengusaha bis eksekutif, lebih baik uangnya digunakan untuk membina pengamen dan pedagang.

Masalah yang timbul dari gagasan ini adalah, apakah mungkin pengamen dan pedagang itu dihilangkan? Saya pun kurang yakin dengan usulan menghilangkan pengamen dan pedagang di bis. Pembinaan bukan berarti selalu merubah pekerjaannya. Pembinaan bisa berarti membuat pekerjaan mengamen dan bejualan di bis menjadi hal yang tidak mengganggu para penumpang. Caranya bagaimana? Mungkin saja diberikan waktu khusus di tempat tertentu yang membolehkan pengamen dan pedagang itu menjajakan dagangannya. Tak boleh memaksakan kehendak. Jika penumpang tidak mau memberikan uang untuk pengamen atau tidak mau membeli baran dagangan biarkan saja. Namanya juga usaha. Ada kalanya berhasil dan tidak.

Nah, sekarang giliran Anda. Apakah Anda setuju dengan pendapat saya, bertentangan, atau tidak mau dan tidak memiliki pendapat sendiri. itu terserah saja. Di sini hanya tempat untuk berbagi cerita. Bila Anda juga memiliki cerita silakan saja kirim melalui email ke: rk.jatinangor@gmail.com

Tidak ada komentar: