30 Mei 2008

POSITIVIS vs SUBSTANTIVIS

Tibalah hari itu. Seperti biasanya saya pergi ke kantor pemerintah daerah. Saat ini tujuannya adalah kantor Pemda Kabupaten Bekasi. Dalam perjalanan kali saya ditemani oleh kawan sekantor. Kantor saya bergerak di bidang konsultan manajemen dan konstruksi. Kerjanya menjadi rekanan kantor lain (biasanya pemerintah) dalam melaksanakan program kerjanya. Kawan sekantor yang beriringan pergi dengan saya kali ini adalah bagian marketing. Kerjanya mencari proyek dan lobi orang-orang pembuat kebijakan supaya kantor saya menjadi pemenang tender proyek.

Berkisahlah kawan saya itu. Dia baru saja mengantar bos saya – tentu bos dia juga – untuk menemui seseorang yang katanya ‘orang dekat’ Bupati Bekasi. Menemui ‘orang dekat’ Bupati ini melalui perantara. Sebut saja nama perantara ini namanya Pak Bambang (bukan nama sebenarnya). Pertemuan itu pun dinyatakan sukses. Tinggal tindak lanjutnya. Diharapkan dari pertemuan itu kantor saya dapat proyek yang dapat dikerjakan dari Pemda Kabupaten Bekasi.

Satu hari setelah pertemuan itu, Pak Bambang menelpon kawan saya. Dia meminta ‘jatah akomodasi’ karena telah berjasa mempertemukan bos saya dengan ‘orang dekat’ Bupati tadi. “Jatah akomodasi” ini dapat diistilahkan sebagai uang jasa. Besarnya tidak ditentukan. Disinilah letak seninya. Tergantung si pemberi uang. Kalau jumlah uangnya besar mungkin saja Pak Bambang akan terus mempertemukan bos saya dengan ‘orang dekat’ pemilik proyek lainnya. Tapi, bila bos saya memberikan uang jasa kepada Pak Bambang sedikit atau bahkan tidak sama sekali memberikan uang niscaya Pak Bambang akan enggan membantu kantor saya lagi dan mungkin pula akan bilang kepada orang lain agar tidak bekerjasama dengan kantor saya karena tidak mau memberikan uang jasa atau sedikit jumlah uang yang bisa diberikan.

Kawan saya mengerti maksud pembicaraan dari Pak Bambang tentang uang jasa ini. Tapi dia tidak memiliki kebijakan untuk memberikan uang kantor begitu saja. Harus minta ijin bos dulu. Akhirnya kawan saya menelpon bos untuk membicarakan hal tersebut.

Kawan saya bilang kalau Pak Bambang minta uang jasa setelah mempertemukan kantor dengan ‘orang dekat’ Bupati. Hanya bos saya sepertinya tidak mengerti bahasa kiasan. Kawan saya bilang uang itu untuk akomodasi seperti beli pulsa karena sering komunikasi mengatur jadwal dengan ‘orang dekat’ Bupati itu, beli rokok, dll.

Tak diduga, bos saya bilang kalau mau minta pulsa biar nanti pulsa itu ditransfer dari hp bos langsung kepada Pak Bambang. Kawan saya pun terkejut. Intinya kantor tidak mau mengeluarkan uang jasa ini karena di dalam laporan keuangan kantor tidak ada hal seperti itu. Itu pungutan liar namanya. Tidak resmi sifatnya.

Tak berapa lama Pak Bambang menelpon kembali kawan saya. Dia mempertanyakan uang jasanya. Kawan saya pun bingung menjawabnya. Akhirnya, diceritakan saja apa adanya yang baru saja dialami kawan saya ketika berbicara dengan bos. Pak Bambang bukannya marah malah tertawa. Entah apa maknanya. Pembicaraan pun selesai.

Terkadang memang kita terbiasa dengan hal-hal yang sifatnya tidak resmi. Memberikan uang kepada petugas, memberikan hadiah kepada seseorang, agar nantinya segala urusannya tidak dipersulit. Mungkin saja petugas itu memang kekurangan biaya hidup karena gajinya yang kecil sehingga dirinya mau menerima uang dari orang yang berkeperluan dengannya. Lumayan dapat uang tambahan. Tapi, mungkin saja orang yang memiliki keperluan dengan petugaslah yang ingin cepat-cepat urusannya selesai sehingga dia memberikan uang kepada petugas agar bisa didahulukan segala urusannya. Jadi bisa dari keduabelah pihak yang menyebabkan tingkahlaku memberikan uang kepada petugas atau orang yang telah merasa berjasa.

Ada lagi perasaan ‘tidak enak hati’ atau ‘rasa terimakasih’. Kebiasaan berterimakasih sudah bersemayam dalam pikiran kita dan menjadi tingkahlaku yang tak perlu dipikirkan lagi. Langsung berbuat saja. Bila kita sudah ditolong dan tidak berterimakasih terhadap pihak yang telah menolong kita maka orang itu akan mendapatkan perlakuan sanksi sosial. Bentuk sanksinya bisa cibiran atau pengucilan dari pergaulan.

Sebagai contoh, ketika telepon di rumah saya tidak berfungsi maka dipanggilah petugas Telkom untuk mengeceknya. Datanglah dua orang petugas. Mereka mengecek hingga ke gardu terdekat. Masalahnya ada pada gardu itu. Setelah itu petugas Telkom itu pun mau pergi. Sebelum mereka pergi saya pun disuruh orangtua saya untuk memberikan uang Rp. 20,000 kepada mereka. Sebagai rasa terimakasih. Padahal saya tahu kalau layanan yang diberikan petugas Telkom ini gratis. Petugas Telkom itu pun senang menerimanya meski jumlahnya tidak seberapa. Masing-masing mendapat Rp. 10,000 / orang.

Bagi saya, memberikan hadiah ketika kita sudah ditolong adalah hal yang baik. Bahkan akan memalukan kita ketika orang yang menolong itu meminta jatah hadiah. Berarti kita tidak peka. Hal ini memang tidak ada aturan tertulis. Hanya ke-peka-an sosial saja namun bisa jadi penting dalam interaksi sosial sehari-hari.

Islam pun begitu. Rasulullah SAW memberikan nasihat kalau kita membayar hutang hendaklah kita memberikannya lebih dari yang dihutangkan sebagai hadiah. Tapi, kelebihan pengembalian hutang ini tidak benar bila sudah ditetapkan diawal-awal akad peminjaman. Itu RIBA namanya dan Islam melarang RIBA. Hadiah ini hanya sebagai rasa terimakasih dari peminjam karena sudah dipinjamkan uang, misalnya. Mungkin saja si pemberi pinjaman mengeluarkan uang lebih ketika memberikan uang pinjaman. Mendapat potongan saldo di mesin ATM, ongkos ke mesin ATM / bank, dsb. Meski begitu, kalau pun tidak memberikan hadiah juga tidak mengapa. Tidak ada paksaan.

Kembali ke kisah kawan sekantor saya. Bos saya itu dapat dikatakan tidak memiliki ke-peka-an sosial. Dalam antropologi hal seperti ini disebut dengan antropologi ekonomi positivis. Sedangkan hal yang memiliki ke-peka-an sosial ini disebut dengan antropologi ekonomi substantivis. Kedua hal itu menjadi pasangan yang berlawanan – oposisi biner. Dan, bisa dibilang sekarang positivis berkuasa atas substantivis. Karena sekolah-sekolah yang membentuk pribadi seseorang mengajarkan itu semua. Ketika kita menemukan hal substantivis layaknya kita menemukan mutiara dalam lumpur.

Tidak ada komentar: