14 Agustus 2008

Suka dan Benci

Oleh Agus Triyatno

Setiap orang memiliki kesukaan dan kebencian masing-masing. Obyek yang disukai atau yang dibenci ini bisa macam-macam. Ada yang makhluk hidup maupun benda mati. Makhluk hidup misalkan manusia atau hewan. Benda mati misalkan mainan tertentu atau jenis kendaraan tertentu.

Perbedaan obyek yang disukai atau dibenci ini tergantung dari pengalaman si individu. Misalkan saja Anda suka membaca buku Trilogi The Lost Boy sedangkan saya cenderung suka membaca buku Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur!. Mungkin Anda menyukai buku The Lost Boy itu karena memiliki pengalaman yang sama dengan tokoh utama dalam cerita tersebut. Begitupun dengan saya yang memiliki kesamaan cerita dengan buku yang saya suka. Begitu seterusnya. Ini hanya contoh saja.

Tapi, tidak semua obyek yang kita suka atau yang kita benci selalu berbeda masing-masing orang. Terkadang kita juga bisa memiliki kesamaan obyek. Misalkan saya menyukai acara televisi The Nanny dan Anda pun menyukai acara The Nanny juga. Lantas, kita membentuk sebuah komunitas yang terdiri dari banyak orang yang memiliki kesamaan menyukai acara televisi The Nanny. Saling berbagi pengalaman dan informasi. Meskipun begitu, tetap saja motif yang melatarbelakangi kesukaan itu yang berbeda tergantung si individu. Anda menyukai acara The Nanny karena Anda mungkin seorang perempuan yang nantinya berkeinginan menjadi ibu dari anak-anak Anda. Sedangkan saya menyukai acara The Nanny karena saya menyukai kekasih saya yang suka menonton acara The Nanny. Dengan begitu saya bisa lebih memahami kehidupan kekasih saya. Dari sini jelas bahwa meskipun memiliki kesamaan obyek tetap saja hal tersebut dipengaruhi oleh pengalaman subyektif si pelaku.

Kemudian timbul pertanyaan, apakah perasaan suka dan benci ini bisa hilang? Atau bahkan bertukar posisi. Dulu saya menyukai buku Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer dan sekarang saya membecinya. Bisakah begitu? Kemungkinannya adalah bisa terjadi. Kembali ke motif saya menyukai buku tersebut. Kalau saya menyukai buku tersebut hanya karena kekasih saya menyukai buku itu maka ketika sekarang saya membenci kekasih saya maka saya pun membenci hal-hal yang berhubungan dengan kekasih saya itu. Begitupun sebaliknya. Saya mencoba untuk menyukai hal-hal yang dibenci kekasih saya. Ini saya lakukan sebagai bentuk perwujudan dari kebencian saya terhadap kekasih saya. Seperti lagu band Naif, “benci untuk mencintai, mencintai untuk membenci.”

Sadar atau tidak, kita suka melakukan hal tersebut di atas. Benci untuk mencintai dan mencintai untuk membenci. Kita terlalu takut untuk menyatakan perasaan kita yang sebenarnya. Kebanyakkan yang dilakukan adalah melemparkan perasaan diri kita kepada obyek lain selain diri kita. Dalam istilah ilmu psikologi disebut proyeksi. Orang berbondong-bondong datang ke Jombang hanya untuk melihat olah TKP dan penggalian mayat yang dibunuh oleh tersangka Ryan. Padahal tidak ada kaitan saudara kandung dari Ryan maupun dari si korban. Kenapa warga begitu antusias? Terlihat juga ada yang menjual pernak-pernik tentang Ryan semisal foto Ryan sewaktu kecil. Fenomena apa ini?

Saya menemui seorang dosen komunikasi UNTIRTA Serang Banten, Tuan Guru Yearry Panji. Dia menjelaskan bahwa bisa jadi warga yang berbondong-bondong ingin melihat Ryan menganggap Ryan bukan sebagai penjahat melainkan sebagai pahlawan. Ryan menjadi ikon representasi dari kebanyakkan warga itu. Jangan-jangan warga itu juga ingin melakukan hal serupa seperti yang dilakukan Ryan tapi tidak berani melakukannya. Ya, kita – orang kebanyakkan – memiliki mental pengecut. Ingin atau telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma tapi hanya bisa berlindung dari orang-orang yang berani bertanggungjawab.

Ini Rahasia. Sssttt…jangan bilang siapa-siapa ya! WOW!!

Tidak ada komentar: